Ada satu hadits Nabi SAW yang populer di kalangan umat muslim terutama bagi mereka para penuntut ilmu. Dari Abu Hurairah RA, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) bersabda:
“Sesungguhnya Allah
tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah hanyalah
melihat pada hati dan amalan kalian.” (HR. Muslim)
Hadits ini sejalan dengan salah satu firman Allah dalam Alquran yang artinya,
“Sesungguhnya orang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling
taqwa di antara kamu”. (QS Al-Hujurat: 13)
Ada satu kisah sahabat Nabi yang begitu menyentuh hati karena memilih berjihad
bersama Rasulullah SAW, daripada kenikmatan dunia. Allah pun menjadikannya
syahid dan menjadi rebutan para bidadari.
Namanya Julaibib radhiallahu
‘anhu (RA), begitulah ia dipanggil. Namanya menunjukkan kalau
ciri fisiknya yang kerdil dan pendek. Nama Julaibib merupakan nama yang tak
biasa dan tidak lengkap. Nama ini bukan ia sendiri yang menghendaki, bukan pula
orangtuanya. Julaibib hadir ke dunia tanpa mengetahui siapa ayah dan ibunya.
Demikian pula orang-orang, semua tidak tahu, atau tidak mau tahu
tentang nasab Julaibib. Bagi masyarakat Yatsrib (Madinah), tidak bernasab dan
tidak bersuku merupakan aib yang besar.
Tampilan fisik dan keseharian Julaibib yang lusuh menjadi alasan orang lain
tidak mau dekat-dekat dengannya. Wajahnya terkesan sangar, pendek, bunguk,
hitam, dan fakir. Kainnya usang, pakaiannya lusuh, kakinya pecah-pecah tidak
beralas.
Tidak ada rumah untuk berteduh, tidur hanya berbantalkan tangan, berkasurkan
pasir dan kerikil. Tidak ada perabotan, minum hanya dari kolam umum yang
diambil dengan telapak tangan. Abu Barzah, pemimpin Bani Aslam, sampai-sampai
berkata tentang Julaibib, “Jangan pernah biarkan Julaibib masuk di antara
kalian! Demi Allah jika dia berani begitu, aku akan melakukan hal yang
mengerikan padanya!” demikianlah keadaan Julaibib kala itu.
Namun, Allah berkehendak menurunkan rahmatNya, tidak satu makhluk pun bisa
menghalangi. Julaibib menerima hidayah, dan dia berada di barisan terdepan
dalam salat maupun jihad. Meski hampir semua orang tetap memperlakukannya
seolah ia tiada, namun tidak demikian dengan Rasulullah SAW, sang rahmat bagi
semesta alam.
Julaibib yang tinggal di shuffah Masjid Nabawi, suatu hari ditegur oleh
Rasulullah. “Julaibib…”, begitu lembut beliau SAW memanggil,
“Tidakkah engkau menikah?”
“Siapakah orangnya yang mau menikahkan putrinya dengan diriku ini Ya
Rasulallah?” kata Julaibib tersenyum.
Tidak ada kesan menyesali diri atau menyalahkan takdir Allah pada kata-kata
maupun air mukanya. Rasulullah SAW juga tersenyum. Mungkin memang tidak ada
orang tua yang berkenan pada Julaibib.
Namun, hari berikutnya, ketika bertemu dengan Julaibib, Rasulullah kembali
menanyakan hal sama. “Julaibib, tidakkah engkau menikah?”. Dan
Julaibib menjawab dengan jawaban yang sama. Begitu, begitu, begitu. Tiga kali,
tiga hari berturut-turut.
Dan pada hari ketiga itulah, Rasulullah memegang lengan Julaibib dan membawanya
ke salah satu rumah pemimpin Anshar. “Aku ingin menikahkan putri
kalian,” kata Rasulullah pada si pemilik rumah.
“Betapa indahnya dan betapa berkahnya,” demikian respons pemilik
rumah dengan wajah berseri-seri, mengira bahwa sang Nabi lah calon menantunya.
“Ooh.. Ya Rasulullah, ini sungguh akan menjadi cahaya yang menyingkirkan
temaram di rumah kami.”
“Tetapi bukan untukku,” kata Rasulullah. “Ku pinang putri kalian
untuk Julaibib,” tegas Rasulullah.
“Julaibib?”, nyaris terpekik ayah sang gadis.
“Ya. Untuk Julaibib.”
“Ya Rasulullah. Saya harus meminta pertimbangan istri saya tentang hal
ini,” kata ayah sang gadis.
“Dengan Julaibib?”, istrinya menjawab, “Bagaimana bisa? Julaibib
berwajah lusuh, tidak bernasab, tidak berkabilah, tidak berpangkat, dan tidak
berharta. Demi Allah tidak. Tidak akan pernah putri kita menikah dengan
Julaibib”.
Perdebatan itu tidak berlangsung lama. Dari balik tirai sang putri berujar:
“Siapa yang meminta?” Sang ayah dan sang ibunya pun menjelaskan.
“Apakah kalian hendak menolak permintaan Rasulullah? Demi Allah, kirim aku
padanya. Dan demi Allah, karena Rasulullah yang meminta, maka tiada akan
membawa kehancuran dan kerugian bagiku”. kata sang gadis.Sang gadis
salehah itu lalu membaca ayat (yang artinya):
“Dan tidaklah patut bagi lelaki beriman dan perempuan beriman, apabila
Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka
pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan
RasulNya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. (QS. Al-Ahzab:
36)
Dan sang Nabi dengan tertunduk berdoa untuk sang gadis salihah itu. “Ya Allah,
limpahkanlah kebaikan atasnya, dalam kelimpahan yang penuh berkah. Jangan kau
jadikan hidupnya payah dan bermasalah,” demikian doa indah Rasulullah.
Maka benarlah doa Nabi SAW. Tak lama kemudian Allah karuniakan jalan keluar
baginya. Kebersamaan di dunia ternyata tidak ditakdirkan terlalu lama. Meski di
dunia sang istri salehah dan bertaqwa, tapi bidadari telah terlampau lama
merindukannya di Surga. Julaibib lebih pantas menghuni surga daripada dunia
yang tidak bersahabat padanya.
Saat syahid di medan perang, Rasulullah begitu kehilangan. Pada akhir
pertempuran, Nabi SAW bertanya “Apakah kalian kehilangan seseorang?”
“Tidak Ya Rasulallah” serempak sahabat menjawab. Sepertinya Julaibib
memang tidak berarti di kalangan mereka.
“Apakah kalian kehilangan seseorang?,” tanya Rasulullah kembali. Nabi
SAW bertanya lagi. Kali ini wajahnya merah bersemu. “Tidak Ya
Rasulallah”. Kali ini sebagian menjawab dengan was-was, beberapa orang menengok
ke kanan dan ke kiri.
Rasulullah menghela nafasnya. “Tetapi aku kehilangan Julaibib,” kata
beliau. Para sahabat tersadar, “Carilah Julaibib!”
Maka Julaibib yang mulia pun ditemukan. Ia terbunuh dengan luka-luka di sekujur tubuh dan wajahnya. Di sekitar jasadnya, ada tujuh jasad musuh telah ia bunuh.
Kemudian jenazah Julaibib ini di gendong oleh Rosulullah, ketika
Rosul melihat jenazah Julaybib kemudian menoleh, melihat lagi kemudian menoleh
, melihat ketiga kalinya kemudian menoleh lagi, lalu ditanya oleh
sahabat-sahabatnya,
“Ya Rosulullah kenapa engkau menoleh sampai beberapa kali ketika melihat
Julaibib,” lalu Rosul menjawab: “Bagaimana aku tidak menoleh sedangkan bidadari
surga pada turun ke bumi berebut untuk mendapatkan Julaibib dan membawa Julaybib ke
surga, lalu ada salah satu bidadari tersebut tersingkap kainnya hingga terbuka
betis kaki nya maka aku menoleh karena aku tidak mau melihat betis bidadarinya
Julaibib. Rasulullah dengan tangannya sendiri mengkafani
Julaibib. Beliau mensalatkannya dan berdoa, “Ya Allah, dia adalah bagian
dari diriku dan aku adalah bagian dari dirinya.” kata Rasulullah.
Demikian Kisah Julaibib yang akhir hayatnya berakhir syahid ketika membantu
Rasulullah SAW dan para sahabat. Pilihannya berjihad dan merindukan syahid
mendapat ganjaran indah dari Allah SWT. Rupa memang tidak seelok para
bangsawan, harta tak sebanyak yang dimiliki para raja, namun bidadari surga
berebut menginginkan sosok Julaibib.
Tepatlah kiranya kita menyimpulkan bahwa ketaqwaan merupakan harta paling
berharga di sisi Allah. Sebab kekayaan, rupa maupun kedudukan di dunia akan
lenyap begitu ajal datang menghampiri pemiliknya.
Sumber : 90 Kisah Malam Pertama” karya
Abdul Muththalib Hamd Utsman, edisi terjemah cet. Pustaka Darul Haq Jakarta.
alsofwah.or.id,
Ceramah Al habib Malik Bin Yahya Assegaf Dari Baidho, dan di terjemahkan oleh
Al Habib Alwi bin Ali Al habsyi solo.