Syahidnya Sultan Imaduddin Zanki setelah dibunuh oleh pembunuh bayaran yang didanai oleh pasukan Salib (ada yang mengatakan dibunuh oleh tentara Prancis bernama Yarankash) . Beliau wafat pada usia 64 tahun, di saat memimpin Kaum Muslimin untuk mengepung benteng Ja’bar, garis pertahanan Pasukan Salib di Sungai Eufrat.
Dunia Islam Abad 11 Masehi. Winter is coming. “Musim dingin” yang panjang bagi Kaum Muslimin sedunia, saat mereka hidup dalam ancaman Pasukan Salib yang sudah 50 tahun menguasai Palestina. Tak ada raja muslim yang berhasil mengalahkan mereka. Kabar kemenangan seperti mustahil. Mitos pun beredar, seakan-akan mengabarkan pada setiap muslim bahwa Pasukan Salib tak pernah terkalahkan.
Semua itu bermula sejak tahun 1099, Pasukan Salib berhasil merobohkan Kota Baitul Maqdis. Mereka datang berbondong-bondong dari belasan kerajaan Eropa, kemudian membangun 5 kerajaan Salib di wilayah Syam. Masing-masing memiliki raja dan pemerintahan sendiri, saling bantu membantu untuk memecah belah umat Islam.
Lima negara itu; Kerajaan Yerusalem, Tripoli, Antokia, Edessa dan Armenian Cilicia. Sulit bagi Umat Islam untuk bangkit, seakan-akan zaman sudah memasuki gerbang akhirnya. Sementara pemimpin-pemimpin muslim banyak berkelahi sesama mereka, para Ulama-lah yang memegang peran penting untuk membangun generasi baru yang kelak akan membebaskan Baitul Maqdis kembali.
Di bawah naungan para Ulama itu, muncullah cikal bakal generasi baru yang bersih hatinya, dalam ilmunya, dan cerdas karakternya sekaligus kuat fisiknya. Nama pertama adalah Aq Sanqur, kesatria muslim berdarah Turki yang hidup di masa-masa genting sebelum Pasukan Salib datang ke Palestina. Tahun 1094 beliau wafat, dan 5 tahun setelahnya Pasukan Salib datang menyergap Al Aqsha.
Namun sebelum wafatnya, Aq Sanqur menitipkan anak kesayangannya pada seorang gubernur Mosul bernama Karbugha, ahli militer dan pertempuran. Di bawah asuhan Karbugha yang keras, tumbuhlah putra Aq Sanqur yang diharapkannya untuk menjadi kesatria hebat, yang ia beri nama Imaduddin Zanki. Imaduddin tumbuh sebagai yatim kala “musim dingin” itu hadir di Dunia Islam. Ia melihat dengan matanya sendiri kafilah haji yang dibantai, desa-desa yang dijarah dan pemimpin muslim yang membungkuk pada raja-raja Eropa itu.
Ia sedih. Ia marah. Ia khawatir. Mengapa harus dirinya yang lahir di zaman sekeras itu. Namun segala peristiwa kelam yang ia lewati membuatnya jadi seorang manusia yang kuat. Setiap kesempatan, Karbugha mengajarkan Imaduddin ketangkasan bertempur, dan mendalami fiqh. Ia datang pada Ulama-ulama untuk meminta nasihat, dan ia datangi rakyat untuk memerintahkan kebajikan.
Jadilah beliau, seorang pemimpin hebat yang tangkas di medan laga, cerdas di kursi kuasa. Kemenangan pertamanya tahun 1123 Masehi, ketika menemani Khalifah Al Mustarsyid Billah dari Klan Abbasiyah melawan pemberontakan Syiah. Sejak kemenangan itu, Imaduddin diberikan amanah untuk menjadi pemimpin Kota Baghdad, dengan gelar “Atabik” (Lord) yang bermakna “ayah.”
Waktu berjalan cepat, dan keadaan politik menjadikan Imaduddin Zanki menjadi penguasa tertinggi di Syam kala itu. Memimpin Klan Zanki menghadapi perang besar melawan Penjajahan Pasukan Salib yang semakin hari semakin angkuh. Beliau sadar bahwa kala itu Pasukan Salib sudah menguasai semua pantai Syam. Kapal-kapal armada laut mereka tak bisa ditandingi dengan mudah.
Maka, Imaduddin memutuskan untuk membangun pondasi Umat Islam dengan mengadakan kaderisasi generasi yang cerdas secara pemahaman agamanya dan tangkas di medan tempur. Beliau mulai mengadakan kampanye persatuan Umat, dengan mengajak penguasa kota-kota muslimin agar mau berpadu di bawah kepemimpinannya. Beliau sadar; menyatukan Umat Islam ternyata lebih susah dibandingkan melawan musuh.
Imaduddin berhasil. Ya, beliau berhasil menyatukan Syam dan menjadikan kota Aleppo sebagai ibukota pemerintahannya. Intelijen Pasukan Salib pun menyadari bahwa baru kali inilah Dunia Islam bersatu setelah 50 tahun mereka merebut Palestina. Umat itu percaya pada Imaduddin. Karena dia layak untuk memimpin. Dia bukan orang biasa, dia adalah “Asadus Syam” The Lion of Syam.
Mengetahui Umat Islam sudah punya tokoh pemersatu bernama Imaduddin Zanki, Raja Yerusalem —King Imanuel— meminta bantuan dari Kekaisaran Romawi Timur yang beribukota di Konstantinopel. Namun Imaduddin pun dikenal oleh sejarah sebagai orang yang cerdas berpolitik. Ia mampu memenangkan pertempuran tanpa harus menghadapi musuh. Cukup hanya dengan membayar orang-orang dalam agar mengadu domba klan-klan besar di Pasukan Salib hingga mereka berpecah belah.
Puncak dari kecerdasan politik dan militer Imaduddin Zanki, adalah ketika ia berhasil meruntuhkan satu kerajaan dari 5 kerajaan Salib di Syam. Peristiwa itu adalah “Pembebasan Edessa” tahun 1144 Masehi. Dua pemimpin jenius bertarung strategi; antara Imaduddin Zanki dan Lord of Edessa bernama Archbishop Hugh. Imaduddin tahu, bahwa seluruh pasukan Edessa sedang pergi ke Utara bersama pemimpinnya, Joscelin. Di saat-saat itulah, Pasukan Muslimin mengepung Edessa.
Edessa ditaklukkan dengan mudahnya. Dan Imaduddin Zanki menjadikan salah satu panglimanya —Zainuddin Ali— sebagai gubernur wilayah itu. Tak ada pembantaian, bahkan Imaduddin mengangkat Pendeta Basil sebagai pemimpin Kaum Kristiani di Edessa, dan menjadi perwakilan dalam majelis musyawarah kota tersebut.
Atas kemenangan yang fenomenal itu, Imaduddin Zanki semakin cemerlang di kalangan Umat Islam, sekaligus menjadi ancaman bagi Pasukan Salib. Sebab, Imaduddin adalah pemimpin pertama yang mewujudkan kemenangan melawan kerajaan Eropa, bahkan dengan mudah menaklukkan Edessa. Mitos tentang pasukan Salib terbongkar, dan semangat jihad Kaum Muslimin berkobar.
Hal itulah yang membuat Pasukan Salib menyewa pembunuh bayaran untuk membunuh Imaduddin Zanki. Tepatnya pada 15 September tahun 1146, Imaduddin Zanki syahid dibunuh oleh agen rahasia yang didanai oleh Pasukan Salib, ketika beliau sedang memimpin pengepungan Benteng Ja’bar, garis pertahanan Pasukan Salib di Sungai Eufrat.
Imaduddin Zanki menjadi inspirasi bagi banyak anak-anak muda untuk menjadi pahlawan pembebasan Al Aqsha. Beliau syahid, namun jiwanya hidup di sisi Tuhan-nya. Meskipun raganya telah dikebumikan, namun beliau jauh-jauh hari telah menyiapkan penerusnya yang jauh lebih cerdas dan lebih hebat darinya.
Generasi pembebas itu terus berlanjut. Dari Aq Sanqur ke Imaduddin. Dari Imaduddin, lahirlah seorang anak yang seluruh hidupnya akan ia gunakan untuk menggentarkan Pasukan Salib. Perkenalkan, namanya Nuruddin Mahmud Zanki.